VIVAnews - Pemerintah saat ini sedang memutakhirkan Peraturan Presiden 05/2006 tentang Kebijakan Energi Nasional. Pembahasan rancangan dan rumusannya tengah dilakukan Dewan Energi Nasional.
Pemanfaatan tenaga nuklir sebagai sumber pembangkit listrik (PLTN) merupakan salah satu program yang menjadi pembahasan dalam pemutakhiran KEN tersebut.
"Perkembangan PLTN di dunia, termasuk kejadian di Jepang, menjadi pelajaran penting untuk Indonesia. Program PLTN dibiayai dana publik, maka kita harus menempatkan kepentingan publik pada prioritas tinggi," kata Mukhtasor, anggota DEN dari Unsur Pemangku Kepentingan/Pakar Lingkungan Hidup seperti dilansir situs Kementerian ESDM di Jakarta, Kamis 31 Maret 2011.
Mukhtasor menambahkan, penyiapan infrastruktur PLTN, mulai dari penyiapan sumber daya manusia, penelitian dan pengembangan, penyiapan kelembagaan sampai dengan studi kelayakan dibiayai pemerintah dengan dana publik dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Padahal, pembangunan dan pengoperasian PLTN secara komersial menurut UU Ketenaganukliran dilaksanakan Badan Usaha Milik Negara, koperasi dan atau badan swasta.
Jadi untuk lebih pro publik, menurut Guru Besar Institut Teknologi Surabaya ini, ada tiga hal penting yang perlu mendapat perhatian, yaitu aspek keselamatan dan lingkungan, aspek partisipasi publik, dan aspek subsidi oleh publik.
"Sesungguhnya publik telah memberi subsidi yang besar terhadap program PLTN. Sangat penting bahwa program PLTN perlu melibatkan partisipasi publik yang lebih besar, terutama dalam aspek keselamatan dan penilaian kelayakan teknologi dan lokasi PLTN," kata Mukhtasor.
Menurut pria yang kini tercatat sebagai Executive Director Indonesian Center for Energy and Environmental Studies, partisipasi publik tersebut diperlukan terutama dalam studi kelayakan pembangunan PLTN dengan melibatkan lebih banyak pemangku kepentingan.
"Pemerintah, dalam hal ini Badan Tenaga Nuklir Nasional, perlu melibatkan lebih banyak ahli-ahli yang representatif dan obyektif di bidang sosial, keselamatan, bencana, dan lingkungan hidup," ujarnya.
Jadi, kata Mukhtasor, jangan sampai terulang lagi kejadian Jepang, di mana keakuratan dan keterbukaan informasi nuklir masih menjadi persoalan antara pemerintah dan operator PLTN.
Layak ataupun tidak pembangunan PLTN di Indonesia nantinya, tambahnya, kita semua harus berbesar hati. Tidak boleh ada yang ditutup-tutupi. Jangan ada kepentingan lain yang tidak relevan, termasuk kepentingan yang lebih berpihak pada keuntungan bisnis daripada publik.
Di sisi lain, standar kelayakan PLTN juga perlu ditingkatkan dengan memperhatikan keandalan teknologi PLTN dan kerawanan bencana di Indonesia.
Ketentuan perizinan reaktor diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 43/2006. Berdasarkan aturan tersebut (pasal 4), reaktor nuklir komersial yang telah beroperasi tiga tahun secara selamat dengan faktor kapasitas merata minimal 75 persen digolongkan sebagai teknologi yang teruji. Untuk itu, dapat diberikan izin dibangun di Indonesia.
"Kecelakaan PLTN Jepang terjadi justru pada akhir umur desainnya. Bandingkan dengan kasus energi terbarukan," kata dia.
Dunia internasional saat ini telah berpengalaman mengoperasikan dengan sukses pembangkit listrik arus laut lebih dari tiga tahun, dengan potensi bahaya minimal dan harga yang lebih murah daripada pembangkit berbahan bakar minyak.
"Itu saja masih tidak mudah masuk dan diterima di Indonesia. Ukuran teknologi teruji dalam pembangunan PLTN harus memberi jaminan keselamatan jauh lebih tinggi," ujar Mukhtasor.
Dalam hal biaya PLTN, Mukhtasor melanjutkan, ada beban biaya tersembunyi yang harus ditanggung publik. Di samping dana APBN untuk penyiapan infrastruktur dan studi kelayakan PLTN, ada konsekuensi biaya yang tidak tampak namun ditanggung publik.
Menurut Undang-undang Ketenaganukliran, pengusaha instalasi nuklir tidak bertanggung jawab terhadap kerugian nuklir yang disebabkan kecelakaan nuklir yang terjadi karena bencana alam dengan tingkat luar biasa yang melampaui rancangan persayaratan keselamatan yang telah ditetapkan Badan Pengawas Tenaga Nuklir.
"Jadi, seumpama kasus Jepang ini terjadi di Indonesia, menurut hemat saya, kerugian kecelakaan nuklir ini akan ditanggung dana publik. Ini tentu kurang mencerminkan istilah harga energi berdasarkan prinsip keenomian berkeadilan yang diatur dalam Undang-undang Energi," ujar Mukhtasor. (umi)